Kata Pengantar
Puji dan syukur penulis
panjatkan kepada Tuhan kita Yesus Kristus karena atas berkat dan karuniaNyalah
makalah yang penulis buat dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Dogmatika 2 ini dapat selesai. Dalam paparan isi makalah yang penulis
sajikan pada halaman selanjutnya. penulis mengupayakan menjelaskan
bagian-bagian yang menjadi dasar permasalahan yang menjadi pokok bahasan dalam
makalah penulis. Dalam
penyusunan makalah ini, penulis banyak mendapat tantangan dan hambatan akan
tetapi dengan dukungan dari berbagai pihak serta semangat untuk membuat tulisan
yang bermanfaat maka tantangan itu bisa teratasi. Olehnya itu, penulis
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyusunan makalah ini, semoga bantuannya mendapat balasan yang
setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa.
Inti dasar dari
permasalahan yang penulis paparkan dalam makalah ini yaitu mengenai Gereja sebagai PNPM . Berbagai sumber bacaan yang dapat
membantu, penulis gunakan sebagai pedoman penulis membuat makalah ini, terutama
buku dan sumber internet. Penulis menyadari bahwa makalah ini
masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk penyusunan maupun materinya.
Kritik dan saran dari pembaca sangat penulis harapkan untuk penyempurnaan
makalah selanjutnya.
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam
mempelajari ilmu teologi, tentunya akan mempelajari dogmatika. Dogmatika adalah
ilmu yang mempelajari tentang apa yang dipercaya. Berbeda dengan etika yang
mempelajari tentang apa yang harus di lakukan. Secara umum, di dalam dogmatika
akan mempelajari tentang Soteriologi (ilmu yang mempelajari tenntang
keselamatan), Kristologi (ilmu yang mempelajari tentang Kristus), Eklesiologi
(ilmu yang mempelajari tentang gereja, Pneumatologi (ilmu yang memperlajari
tentang Roh Kudus) dan eskhatologi (Ilmu yang mempelajari tentang akhir zaman.
Adapun yang menjadi focus penulisan
dalam makalah ini adalah eklesiologi, ilmu yang mempelajari tentang gereja.
Bereklesiologi berarti suatu upaya untuk memahami gereja secara kontekstual.
Dari tugas yang di berikan pada mata kuliah dogmatika 2, penulis di minta untuk
membuat makalah mengenai upaya bereklesiologi di desa dan jemaat penulis
sendiri, yaitu Desa Tuwung. Model atau alat bantu yang penulis gunakan dalam
rangka bereklesiologi adalah PNPM. Dalam isi makalah ini penulis akan
memaparkan sejarah singkat suku Dayak Ngaju, sejarah singkat desa Tuwung,
gambaran umum masyarakat Tuwung, permasalahan yang sedang dihadapi, rumusan
eklesiologi dan pelaksanaan tugas panggilan gereja dalam konteks masyarakat dan
jemaat Tuwung. Untuk lebih jelasnya akan penulis paparkan pada bab selanjutnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Singkat Suku Dayak Ngaju
Berdasarkan
sejarahnya, suku dayak yang menghuni pulau Kalimantan merupakan keturunan dari
para imigran yang berasal dari daerah Yunnan Cina Selatan. Kelompok-kelompok
yang pertama masuk Kalimantan adalah kelompok Negrid dan Wedid yang sekarang
sudah tidak lagi ada. Kemudian disusul kelompok yang lebih besar yang disebut
dengan Proto-Melayu. Perpindahan mereka ini diperkirakan terjadi di antara
tahun 3000-1500 Sebelum Masehi. Kelompok-kelompok imigran ini memilih waktu dan
jalan yang berbeda. Ada kemungkinan suku-suku bangsa Dayak yang bermukim di
Kalimantan Tengah dan Selatan untuk beberapa waktu singgah di Sumatera dan
Jawa.[1]
Dalam perkembangan selanjutnya terjadi penyebaran gelombang kedua yang disebut
Deutero Melayu sekitar 200-300 Sebelum Masehi. Mereka ini berasal dari Tiongkok
Selatan. Selanjutnya dalam Proses Interaksi Sosial terjadi pembauran antara
Proto-Melayu dan Deutero-Melayu. [2]Kedua
Keturunan inilah yang menghuni Pulau Kalimantan, Termasuk Suku Dayak Ngaju dewasa
ini.
Tempat tinggal suku-bangsa Ngaju
adalah di sepanjang sungai besar Kalimantan Tengah, seperti Kapuas, Kahayan,
Rungan, Manuhing, Barito dan Katingan. Di daerah aliran sungai Kahayan
suku-bangsa Ngaju berdiam di sebelah hilir. Batas kediaman orang Ngaju di hulu
Kahayan hanya sampai di Tumbang Miri saja sebagai nya yang terakhir, sedangkan
di hilir terus turun sampai ke muara sungai Kahayan. Bahasa yang digunakan
adalah bahasa Ngaju dan telah lama menjadi Lingua
Franca orang dayak Kalimantan Tengah. Peranan bahasa Ngaju menjadi penting
di Kalimantan Tengah, berkat usaha para Zending Protestan dari Jerman yang
telah memilih bahasa itu dalam penyebaran agama Kristen dan dalam
menterjemahkan kitab Injil ke dalam bahasa pribumi. [3]
B.
Sejarah Singkat Desa Tuwung
Dahulu
sekitar abad ke-18 M nama asal Desa Tuwung adalah Dukuh Bengkel yang di kepalai
oleh seorang Kepala Dukuh yang bernama Hamun. Kampung Dukuh Bengkel pada saat
itu terletak dipinggir sungai Kahayan. Saat itu, Dukuh Bengkel berada di bawah
Pemerintahan Kampung Sigi yang dikepalai oleh Jaga Takep. Selanjutnya warga
Dukuh Bengkel pindah ke Kampung Tuwung yang diprakarsai oleh Kandang Kasau sehingga menjadi kampong devinitif
sampai tahun 1979. Pada tahun 1980 Kampung Tuwung berubah status menjadi Desa
Tuwung.
Pada mulanya Tuwung terletak di
pinggir sungai Kahayan. Pada umumnya ini
di huni oleh orang Ngaju. Tidak ada informasi yang jelas siapa yang pertama
mendirikan desa ini. Akan tetapi, ada yang mengatakan bahwa orang yang
pertama-tinggal di desa ini adalah orang yang berasal dari hilir yang bekerja
di hutan daerah tersebut. Para pekerja ini membawa keluarganya untuk menetap didaerah
tersebut dengan alasan pekerjaan. Dalam perkembangannya, Pada Tahun 80-an
jumlah kepala keluarga di desa ini sekitar 85 KK. Jalur transportasi yang
digunakan umumnya adalah jalur Sungai (Sungai Kahayan). Konon, apabila
menggunakan perahu membutuhkan waktu 1 satu penuh untuk bisa sampai ke kota Palangka
Raya. Sekolah yang tersedia hanyalah Sekolah Dasar, karena Sekolah Menengah
Pertama dan Sekolah Menengah ke Atas berada di ibu kota Kecamatan, yaitu
di Bukit Rawi. Karena keadaan yang tidak
memungkinkan, ada banyak anak-anak yang tidak mau melanjutkan sekolahnya dengan
alasan jarak yang jauh dan biaya yang mahal. Pekerjaan pada umumnya adalah mambatang[4]
dan manetes[5].
Kehidupan pada saat itu masih bergantung pada hasil hutan, seperti kayu dan
rotan. Hasil hutan ini kemudian dijual untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dalam
memenuhi kebutuhan sandang, masyarakat harus membelinya dari para pedagang Banjar
yang berdagang menggunakan Kapal.[6]
Pada perkembangannya, sekitar tahun
1985 desa Tuwung mengalami perpindahan dari pinggir sungai Kahayan ke daerah
trans yang terletak di pinggiran jalur lintas Palangka Raya - Kuala Kurun.
Akibatnya Tuwung yang awalnya terletak
di pinggir sungai Kahayan menjadi kosong tanpa penduduk. Semua warga pindah ke
tempat yang baru. Tuwung yang lama
dewasa ini di sebut Tuwung Sila[7],
dan Masyarakat dayak Ngaju biasanya menyebutnya Kaleka Lewu[8].
Sampai saat ini masyarakat menetap di tempat yang baru. Adapun alasan
perpindahan tersebut adalah karena letak yang terlalu rendah dari permukaan
sungai, sehingga apabila air pasang desa menjadi banjir dan aktivitas
masyarakat tidak berjalan dengan baik.
C. Gambaran
Umum Masyarakat Tuwung
Tuwung merupakan yang paling dekat dengan Kotamadya Palangka Raya
dan Kecamatan Kahayan Tengah (Ibukota Bukit Rawi). Kecamatan Kahayan Tengah
Memiliki 14 desa yaitu : Desa Tanjung Sangalang, Desa Penda Barania, Desa Bukit
Rawi, Desa Tuwung, Desa Sigi, Desa Petuk Liti, Desa Bukit Liti, Desa Bahu
Palawa, Desa Pamarunan, Balukon, Desa Bukit Bamba, Desa Parahangan, dan Desa
Bereng Rambang. Kecamatan Kahayan Tengah
memiliki luas 1.638 km2 atau 2,50%, secara astronomis terletak pada posisi
02°08’56’ - 02°09’37’ Lintang Selatan dan 113°94’ - 114°65’ Bujur Timur.[9]
Secara administratif, Kecamatan
Kahayan Tengah ini memiliki batas wilayah sebagai berikut:
Sebelah Utara berbatasan dengan : Desa Sigi/ Desa Bukit Guha
Sebelah Selatan berbatasan dengan : Desa Bukit Rawi
Sebelah Timur berbatasan dengan : Hutan Produksi/Kecamatan Timpah Kab. Kapuas
Sebelas Barat berbatasan dengan : HutanProduksi/ Kecamatan Bukit Batu Kota Palangka Raya
Kondisi fisik wilayah (fisiografi)
Kecamatan Kahayan Tengah, pada bagian utara dan timur sebagian besar berada di
wilayah daratan dengan tingkat ketinggian antara 0-50 m di atas permukaan laut
dan tingkat kemiringan antara 0-8%, sedangkan pada bagian barat dan selatan
terdiri atas daerah rawa. Curah hujan yang dimiliki kecamatan kahayan tengah
dengan rata-rata pada musim hujan sebesar 242 mm dan pada musim kemarau
rata-rata 50 mm. Curah hujan rata-rata 2057 mm pertahun dengan suhu 25°C -
35°C. Hal ini membuktikan bahwa bidang pertanian dengan subbidang kehutanan dan
perkebunan sangat baik untuk diperdayakan baik sumber daya alam maupun sumber
daya manusia.[10]
Desa Tuwung merupakan salah satu desa
yang termasuk dalam Kecamatan Bukit Rawi, Kabupaten Pulang Pisau, Provinsi
Kalimantan Tengah. Luas
wilayah Desa Tuwung yaitu 115 Km.
Desa Tuwung terdiri dari 2 Rukun
Tetangga (RT) yaitu RT 01 dan RT 02. RT 01 terdiri dari 58 KK dengan 227 jiwa,
sedangkan RT 02 terdiri dari 78 KK dengan
325 jiwa. Jadi, Desa Tuwung berpenduduk 136 KK dengan 552 jiwa. Penduduk
Laki-laki berjumlah 294 jiwa dan Penduduk Perempuan berjumlah 258 jiwa. Pemeluk Agama Kristen berjumlah 382
jiwa, Islam 73
jiwa, Hindu Kaharingan 98
jiwa. Dari data ini
terlihat bahwa mayoritas penduduk Desa Tuwung beragama Kristen.[11]
Perdagangan
hampir 80% dikuasai oleh orang Banjar dan Jawa. Meskipun ada sebagian kecil
para pedagang berasal dari masyarakat setempat. Di desa ini, hanya sedikit
warganya yang berprofesi sebagai Pegawai Negeri. Pegawai Negeri kebanyakan berprofesi sebagai
guru SD serta pekerja dikantor Balai desa. Dengan melihat keadaan masyarakat
Tuwung yang boleh dikatakan masih menyandarkan kehidupannya dengan cara
menyadap karet. Maka dapat dikatakan kemampuan ekonomi masih pas-pasan.
Bagi
para pendatang baru (suku Batak, Jawa, dan Banjar) yang datang, mereka tidak
menutup kemungkinan untuk bergabung dalam masyarakatnya, bahkan menjadi bagian
dalam anggota keluarga. Struktur sosial yang ada di Tuwung terdiri atas:
1. Penghulu adat
2. Kepala dan aparatnya
3. Lembaga Sosial Masyarakat.
Masyarakat
di desa ini sangat memegang teguh adat istiadat mereka, secara turun temurun
mereka tetap melaksanakannya, baik adat istiadat tentang kehidupan dan hukum
adat tentang kematian. Untuk itulah dalam masyarakat setempat membentuk
perhimpunan adat yang dikepalai oleh kepala adat. Adapun hukum adat yang
digunakan oleh masyarakat Tuwung merupakan hukum adat yang sudah ada dari nenek
moyang jaman dulu. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Ngaju.
Mata
pencaharian masyarakat di Tuwung beragam dari tahun ke tahun. Mata pencaharian
masyarakat tahun 1990an adalah berladang, karet (mantat), Rotan (netes),
Menangkap ikan, Dagang Sembako. Sejak Tahun 2000 dari empat bidang usaha yang
mendominasi adalah mata pencaharian bidang pertanian dan perkebunan. Hal ini
menunjukan bahwa usaha bidang pertanian dan perkebunan sudah menjadi pemenuhan
pendapatan bagi keluarga desa Tuwung.
Mata pencaharian ini terus berjalan sampai saat ini.
Pada
umumnya profesi masyarakat Tuwung adalah sebagai Pamantat[12].
Nampak bahwa dampak yang ditimbulkan dari perpindahan letak adalah terjadi perubahan mata pencaharian.
Masyarakat Tuwung tidak lagi bekerja sebagai Pambatang dan Penetes. Berdasarkan
Monografi Badan Penyuluhan Pertanian Kecamatan Kahayan Tengah, Tahun 2008,
jumlah warga Tuwung yang bekerja sebagai
Pamantat sebanyak 178 KK. Desa Tuwung merupakan yang secara merata dan
yang paling mendominasi adalah pekerjaan dalam bidang pertanian dan perkebunan
karet. Di desa ini terdapat 1 pasar, 8 toko/kios, dan 2 warung.
BAB
III
Permasalahan
Yang Sedang Dihadapi
A.
Gambaran Permasalahan Yang Ada di Desa Tuwung
Berikut
penulis akan memaparkan masalah yang umum dihadapi oleh masyarakat Tuwung
dewasa ini, di1antaranya adalah:
Berikut penulis akan memaparkan masalah
yang umum dihadapi oleh masyarakat Tuwung dewasa ini, diantaranya adalah:
a. Penurunan Harga Karet
Masyarakat
Tuwung pada umumnya adalah Pamantat.
Pendapatan dari hasil menyadap karet semata-mata untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari. Dewasa ini masyarakat Tuwung banyak mengeluh dengan turunnya harga
karet. harga karet yang dulunya mencapai Rp. 18.000/Kg, kini hanya berkisar Rp.
6500/Kg. Akibatnya ada banyak warga yang memilih untuk tidak menyadap karet.
Hal ini merupakan masalah terbesar yang dihadapi oleh masyarakat Tuwung pada
saat ini. “ jia harapan ndai amun je
mantat wayah tuh nah, sampet lepah behas melai huma, malaok ih je puna pasti, amun
je maharap gajih nah di baka” (tidak ada harapan lagi kalau masih
menyadap sekarang ini, sempat habis beras di rumah, hanya
mencari ikan yang pasti, kalau hanya mengaharapkan gajih percuma).[13]
Nampak bahwa terjadi keputusasaan karena penurunan harga karet. kebun karet
banyak yang tidak lagi di urus. Salah satu akibatnya adalah lumpuhnya
perekonomian. Dewasa ini, perekonomian masyarakat desa Tuwung dapat dikatakan
pas-pasan
b. Kebakaran Hutan
Sejak
tahun 2010-2015 hampir setiap tahun lahan masyarakat Tuwung terbakar.[14]
Kebakaran terjadi diduga akibat kelalaian warga dalam menjaga lahannya. Umumnya
masyarakat Dayak apabila hendak bercocok tanam/berladang harus membakar
lahannya terlebih dahulu. Tujuannya adalah agar tanah yang menjadi tempat
penanaman menjadi subur serta lahan tersebut menjadi bersih dari kayu-kayu yang
menghalangi proses penanaman. Akan tetapi pembakaran tersebut oleh masyarakat
Tuwung tidak di jaga dengan baik agar tidak menjalar ke lahan yang lain.
Akibatnya banyak lahan warga yang lain ikut terbakar bersama dengan tanaman
yang sudah di tanami sebelumnya, tanpa terkecuali pohon karet. Dampak lain yang
begitu menyedihkan adalah masyarakat tidak lagi dapat menyadap karet seperti biasanya
karena terbakar habis.
c. Kurangnya Kesadaran akan Pentingnya
Pendidikan
Pendidikan
adalah salah satu jalan agar seseorang mendapat status sosial yang lebih baik.
Umumnya orang berlomba-lomba untuk menyekolahkan anak-anaknya. Namun tidak
demikian yang terjadi di desa Tuwung. Kesadaran akan pentingnya pendidikan
sangat lemah. Mereka lebih baik memilih untuk bekerja bahkan kawin muda.
Pendidikan di anggap hanya untuk menghabiskan uang yang ada. Ketika penulis
bertanya dengan salah satu pemuda, jawabannya adalah “narai guna sakula sakira palepah duit ih, are uluh je S1 sama ih ampi
ah, Jatun kare bagawi hang kantor kia. Nenga beban akan uluh bakas ih, kueh
jadi susah, nambah susah hindai” ( apa gunanya sekolah yang sekiranya
menghabiskan uang saja, banyak orang yang S1 nampaknya sama saja, tidak ada
yang bekerja di kantor. Memberikan beban kepada orang tua saja, sudak miskin,
tambah miskin).[15]
Selain itu, salah satu penyebabnya adalah kemiskinan yang merajalela. Orang tua
kebanyakan tidak mampu untuk menyekolahkan anaknya, terkhususnya di perguruan
tinggi.
Diatas
semuanya, permasalahan yang di alami masyarakat Tuwung berujung pada menurunnya
tingkat perekonomian. Masyarakat sangat sulit untuk mencara jalan keluar untuk
permasalahan tersebut.
B. Gambaran Permasalahan Yang Ada di Jemaat
Tuwung
Permasalahan
yang ada di di kampung seperti yang sudah dijelaskan diatas, secara tidak
langsung mempengaruhi jemaat di desa Tuwung. Berikut penulis akan memaparkan
kepelbagaian permasalahan yang umumnya dihadapi oleh jemaat Tuwung, di
antaranya adalah sebagai berikut:
a. Kurangnya Pelayan Diakonia
Pelayanan
diakonia merupakan salah satu dari tri tugas panggilan gereja. Pelayan diakonia
adalah pelayanan batuan persaudaraan.[16]
Pelayanan diakonia gereja berarti pelayanan bantuan persaudaraan gereja kepada
orang-orang yang membutuhkan. Realitas yang terjadi di jemaat Tuwung adalah
kurangnya pelayanan diakonia. Padahal kepengurusan jemaat sudah terstruktur
dengan baik. Akibatnya jemaat merasa kurang diperhatikan, sehingga jemaat
merasa bahwa gereja tidak mampu untuk menjawab kebutuhan.
Dampak
dari kebakaran hutan, penurunan harga karet, dan kurangnya kesadaran akan
pentingnya pendidikan yang paling utama adalah lumpuhnya perekonomian dan
menurunnya tingkat kesehatan jemaat Tuwung. Dalam hal inilah, gereja kurang
melaksanakan pelayanan bantuan persaudaraan kepada jemaat.
b. Jemaat yang Beribadah Berkurang
Lumpuhnya
perekonomian di jemaat Tuwung, berdampak bagi gereja. Realitasnya, jemaat lebih
memilih untuk bekerja dari pada harus pergi ke gereja. Muncul pemahaman jemaat
bahwa pergi ke gereja hanya mengeluarkan uang untuk persembahan saja.
Dengan
kondisi jemaat yang tidak sehat, secara otomatis jemaat akan susah untuk dapat
beribadah ke gereja. Jemaat tidak mungkin berangkat ke gereja dengan keadaan
sakit. Nampak bahwa kesehatan jemaat berdampak pada peribadatan jemaat. Bahkan
ada pelayan kategorial, seperti SP/Per tidak terlaksana sesuai jadwal. Karena
jemaat sedang dalam keadaan sakit. Begitu juga halnya dalam ibadah minggu,
jumlah jemaat yang pergi ke gereja menjadi berkurang.
BAB
IV
RUMUSAN
EKLESIOLOGI
Secara
harafiah eklesiologi berarti pemahaman tentang gereja (bahasa Portugis:Igreja; bahasa Yunani : Ekklesia).[17] Bereklesiologi
pada dasarnya adalah upaya untuk menjawab atau menggambarkan makna dan tugas
panggilan gereja dalam jemaat, karena kata Ecclesia
sendiri berarti perkumpulan orang-orang yang di panggil keluar menghadap.[18]
Ketika kata ecclesia ini digunakan
untuk menjelaskan makna gereja, maka ecclesia
berarti persekutuan orang-orang yang dipanggil keluar dari kegelapan dosa
untuk datang menghadap dan menerima anugerah penyelamatan Allah melalui Yesus
dan Roh Kudus namun selanjutnya di kembalikan atau diutus kedalam dunia yang
gelap tersebut untuk mewartakan anugerah penyelamatan Allah tersebut.[19]
Berangkat
dari maksud tersebut, penulis kemudian mencoba melihat model atau alat bantu
yang sesuai dengan konteks bergereja di jemaat Tuwung, berangkat dari situasi
dan kondisi dewasa ini. Menurut penulis model atau alat bantu yang tepat adalah“Gereja
Sebagai Organisai PNPM dalam Konteks Bergereja Di Jemaat Tuwung”. Pemilihan judul tersebut diangkat
berdasarkan situasi, kondisi, serta permasalahan yang ada pada jemaat Tuwung.
A. Gambaran PNPM Secara Umum
Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM Mandiri Perdesaan atau
PNPM-Perdesaan atau Rural PNPM) merupakan salah satu program pemberdayaan
masyarakat yang mendukung PNPM Mandiri yang wilayah kerja dan target sasarannya
adalah masyarakat perdesaan. PNPM Mandiri Perdesaan mengadopsi sepenuhnya
mekanisme dan prosedur Program Pengembangan Kecamatan. Tujuan Umum PNPM Mandiri Perdesaan adalah meningkatkan
kesejahteraan dan kesempatan kerja masyarakat
miskin di perdesaan
dengan mendorong kemandirian dalam pengambilan keputusan dan pengelolaan
pembangunan.[20] PNPM juga menyediakan prasarana sarana sosial dasar dan ekonomi yang
diprioritaskan untuk masyarakat.
Program pemberdayaan masyarakat ini dapat dikatakan
sebagai program pemberdayaan masyarakat terbesar di tanah air, bahkan terbesar
di dunia. Dalam pelaksanaannya, program ini memprioritaskan kegiatan bidang infrastruktur
desa, pengelolaan dana, kegiatan pendidikan dan kesehatan bagi masyarakat di
wilayah perdesaan. Program ini terdiri dari tiga komponen utama, yaitu: a) Dana
BLM (Bantuan Langsung Masyarakat) untuk kegiatan pembangunan, b) Dana
Operasional Kegiatan (DOK) untuk kegiatan perencanaan pembangunan partisipatif
dan kegiatan pelatihan masyarakat (capacity building), dan c) pendampingan
masyarakat yang dilakukan oleh para fasilitator pemberdayaan, fasilitator
teknik dan fasilitator keuangan.[21]
PNPM
Mandiri Pedesaan di pimpin oleh lurah atau kepala desa. Dalam PNPM Mandiri
Perdesaan, seluruh anggota masyarakat didorong untuk terlibat dalam setiap
tahapan kegiatan secara partisipatif, mulai dari proses perencanaan,
pengambilan keputusan dalam penggunaan dan pengelolaan dana sesuai kebutuhan
paling prioritas di desanya, sampai pada pelaksanaan kegiatan dan
pelestariannya. [22]
B.
Peran dan Fungsi PNPM Bagi Masyarakat Tuwung
Salah satu Peran dan fungsi PNPM yang mendasar
bagi masyarakat Tuwung tidak lain adalah membantu masyarakat dalam hal perekomomian.
Dengan adanya PNPM, masyarakat di beri kemudahan untuk keluar dari permasalahan
ekonomi. PNPM seolah-olah hadir sebagai organisasi atau lembaga yang mampu
menjawab kebutuhan masyarakat Tuwung. Hal ini terbukti dengan banyaknya jumlah
masyarakat yang terbantu dengan adanya PNPM. Dana yang disalurkan untuk
dipinjam, membantu masyarakat untuk membuka usaha dan pekerjaan, seperti
berdagang dan berbisnis. Hasil dari usaha dan pekerjaan tersebut secara tidak
langsung membuat masyarakat Tuwung lebih baik dalam hal perekonomian. Sehingga
masyarakat Tuwung mampu membiayai kepelbagaian kebutuhan dan mengatasi
permasalahan hidup, seperti, membangun rumah, menyekolahkan anak, berobat, dan
lain-lain.
Di
sisi lain, PNPM juga terlibat dalam pembangunan desa, seperti jalan dan
infrastruktur lainnya. Dengan demikian desa menjadi maju dan dapat dinikmati
oleh seluruh masyarakat Tuwung. Selain itu, dengan infrastruktur yang memadai,
desa Tuwung dewasa ini dapat menyelenggarakan berbagai macam kegiatan. Seperti
yang sudah dijelaskan diatas, bahwa salah satu tujuan PNPM adalah untuk
pembangunan desa. Hasil pembangunan ini berguna untuk seluruh masyarakat desa Tuwung,
baik miskin maupun kaya. Di atas semuanya, selain desa menjadi maju, kehidupan
masyarakat desa Tuwung pun menjadi maju. Hadirnya PNPM sangat membantu
masyarakat atas permasalahan yang di hadapi dewasa ini. Dalam perkembangannya,
taraf hidup masyarakat Tuwung lebih baik dari sebelumnya.
C. Definisi
Gereja dan Pemahaman Gereja Sebagai Garam dan Terang Dunia
Kata
Gereja berasal dari kata Portugis Igreya.
Cara pemakaiannya sekarang ini adalah terjemahan dari kata Yunani Kyriake, yang berarti menjadi milik
Tuhan. Adapun yang dimaksud dengan milik Tuhan adalah orang yang percaya kepada
Tuhan Yesus sebagai Juruslamat. Jadi, yang dimaksud dengan Gereja adalah
persekutuan para orang beriman.[23]
Ecclesia sebagai Umat Allah sudah ada sejak zaman (PL) seiring
dengan pemanggilan Abraham dan bangsa Israel untuk menjadi umat Allah dan
menjadi saluran berkat bagi bangsa-bangsa.
Lahirnya Gereja
yang dipahami sebagai ecclesia dikaitkan dengan Pentakosta (Kis. 2:1-11). Dalam hal
ini, maka lahirnya Gereja pada dasarnya adalah pekerjaan Roh Kudus.“ [24]
Salah satu
ungkapan yang dipakai untuk melukiskan gereja sebagai suatu persekutuan yang
baru adalah Garam dan Terang Dunia. Gereja adalah persekutuan para murid yang
bersedia “melarutkan” diri ke dalam dunia (umat manusia) dengan berbagai
persoalan yang ada, agar berbagai macam persoalan dunia (umat manusia) yang ada
itu bisa diatasi dengan baik, dan selanjutnya dunia (umat manusia) mengalami
damai sejahtera yang Allah sediakan. Gereja sebagai garam dunia, misalnya,
menjadi persekutuan yang:
1. Menghadirkan
dan memelihara hal-hal yang baik di dalam masyarakat;
2. Hadir
untuk memulihkan berbagai keadaan yang tidak baik di dalam masyarakat kepada
keadaan semula yang baik;
3. Hadir
untuk mencegah terjadinya berbagai hal buruk yang bisa menimpa masyarakat;
Makna
gambaran Gereja sebagai terang dunia atau sebagai pelita adalah persekutuan
orang percaya yang hadir di tengah-tengah dunia agar dunia terarah kepada hal-hal
baik yang menjadi tujuannya. Gereja sebagai terang dunia atau pelita juga menolong
umat manusia di dunia dalam mengatasi berbagai persoalan atau hambatan guna mencapai
tujuan hidup sejahtera. Kemudian mengarahkan umat manusia kepada sang Sumber
Terang. Sumber Terang tersebut adalah Yesus Kristus. Gereja sebagai terang
dunia berarti hadir di tengah-tengah dunia untuk membangun rasa damai dan
sejahtera bagi semua orang.[26]
D. Dasar Alkitabiah Bagi Rumusan Eklesiologi
Gereja Sebagai PNPM
Gambaran
PNPM serta fungsinya bagi masyarakat Tuwung diatas menjadi alasan mengapa
penulis memilih PNPM Sebagai Model Bergereja Dalam Konteks Jemaat Tuwung. Dalam
hal ini, penulis akan memberikan dasar-dasar sebagai bahan yang memperkuat
model tersebut. Oleh sebab itu, penulis memberikan dasar Alkitab yang ada
berdasarkan kesamaan dari peran STT GKE sebagai organisasi atau lembaga yang
membebaskan dan mampu menjawab persoalan yang ada. Berikut penulis akan
memaparkan dasar alkitabiah tersebut, antara lain:
a.
Lukas 4:18-19: “Roh Tuhan ada pada-Ku,
oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada
orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku
untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan
bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk
memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang”.[27]
b.
Yakobus 2:6: “ Dengarkanlah hai saudara-saudara yang
kukasihi! Bukankah Allah memilih orang-orang yang dianggap miskin oleh dunia
ini untuk menjadi kaya dalam iman dan menjadi ahli waris Kerajaan yang telah
dijanjikanNya kepada barangsiapa yang mengasihi Dia?”[28]
c.
Kisah Para Rasul 4:32: “ Adapun kumpulan orang yang
telah percaya itu, mereka sehati sejiwa, dan tidak seorangpun yang berkata,
bahwa sesuatu dari kepunyaannya adalah miliknya sendiri, tetapi segala sesuatu
adalah kepunyaannya mereka bersama”[29]
E. Gereja Sebagai PNPM
Pada pembahasan
ini penulis tidak lupa untuk memuat kerangka dasar dalam bereklesiologi, yakni
adanya Tuhan yang memimpin dan mendirikan jemaat-Nya, adanya umat yang
didirikan itu yang menerima dan membentuk persekutuan dan kemudian adanya
tempat (rumah-rumah dan Bait Allah) bagi mereka untuk melaksanakan perkumpulan
mereka sehingga disebut sebagai ekklesia (yang dipanggil untuk bersekutu).
Tentunya diantara jemaat yang didirikan tersebut terdiri dari manusia-manusia
yang berbeda-beda latar belakang kehidupannya. Baik itu dari segi suku, profesi
dan latar belakang sosial lainnya. Dalam PNPM tiga kerangka dasar ini sudah
tercapai. Lurah atau kepala desa merupakan orang memimpin, mengkoordinir, dan
melaksanakannya. Kemudian adanya persekutuan di dalamnya yang terdiri dari
orang-orang atau masyarakat desa Tuwung yang terdiri dari berbagai latar
belakang, suku, sosial dan ekonomi. Lalu adanya tempat untuk melaksanakan
perkumpulan atau persekutuan tersebut (balai desa, kantor desa, atau bangunan
khusus).
Selanjutnya, di atas telah dijelaskan
mengenai PNPM, peran dan fungsinya dalam kehidupan masyarakat Tuwung serta
dasar alkitabiahnya. Selanjutnya penulis akan menggambarkan PNPM Sebagai Model
Bergereja yang selanjutnya disebutkan Gereja Sebagai PNPM karena memiliki
kesamaan namun dengan tidak melupakan pula perbedaan yang ada. Penulis akan memberikan
gambaran bahwa rupanya Gereja memiliki kesamaan dalam perannya dengan PNPM yang
ada didalam masyarakat masyarakat Tuwung.
Tidak dapat
dipungkiri bahwa gereja merupakan tempat berkumpulnya umat dari berbagai latar
belakang suku, ras, sosial dan ekonomi. Gereja
sendiri dimaknai sebagai persekutuan dari orang-orang percaya terdiri dari
jemaat-jemaat yang berbeda. Gereja sebagai PNPM dapat dipahami sebagai
persekutuan orang-orang atau masyarakat dalam desa yang terdiri dari berbagai
latar belakang yang berbeda. Diatas semuanya, gereja adalah pemersatu bagi
seluruh umat. Di dalam PNPM sendiri terdiri seluruh anggota masyarakat yang
berbeda latar belakangnya. Kehadiran PNPM juga menjadi pemersatu bagi seluruh
masyarakat desa Tuwung.
Dalam upaya bereklesiologi
secara kontekstual atas peran dan fungsi PNPM dalam kehidupan masyarakat desa
Tuwung, ternyata ada kesamaan dengan gereja. Secara Fungsional, PNPM memberikan
pembebasan dari ketertinggalan perekonomian dan menjadikan masyarakat sebagai
manusia yang utuh. Gereja hadir ditengah-tengah kedunia ini memberi pembebasan
kepada umat dari kepincangan sosial, seperti kemiskinan, sakit penyakit, dan
lain-lain. gereja tidak dapat memisahkan diri dari persoalan yang terjadi dalam
kehidupan masyarakat. Gereja bukan hanya sekedar memberitakan keselamatan
sorgawi tetapi juga keselamatan yang bersifat duniawi yang nampak pada
pelayanan diakonia yang dilakukan oleh gereja.
Gereja hadir ditengah dunia sebagai garam
dan terang dunia. Gereja sebagai terang dunia atau pelita juga menolong umat
manusia di dunia dalam mengatasi berbagai persoalan atau hambatan guna mencapai
tujuan hidup sejahtera. Begitu juga
halnya dengan PNPM. Hadirnya PNPM di desa Tuwung dapat membantu dan menolong
masyarakat dalam mengatasi berbagai persoalan atau hambatan guna mencapai
tujuan hidup sejahtera.
Mengakhiri bagian ini, penulis menyadari
bahwa keterlibatan gereja terhadap pemasalahan sosial-ekonomi adalah bukan
tugas utama dari Gereja. Akan tetapi, tidak di pungkiri bahwa gereja hadir di
tengah-tengah keadaan umat memiliki kepelbagaian masalah, termasuk masalah
sosial-ekonomi. Inilah kenyataannya, bahwa gereja tidak bisa tinggal diam akan
permasalahan tersebut.
F.
Pelaksanaan Tugas Panggilan atau Misi Gereja Dalam Konteks Masyarakat dan Jemaat
Tuwung
Setelah memaparkan permasalahan dan rumusan eklesiologi, tugas penulis
selanjutnya adalah menggambarkan seperti apa semestinya pelaksanaan tugas
panggilan atau misi gereja dalam konteks masyarakat dan jemaat Tuwung.
Gereja
adalah suatu komunitas yang didirikan oleh
Yesus Kristus dan diurapi oleh Roh Kudus sebagai tanda terakhir kehendak Allah
untuk menyelamatkan seluruh umat manusia.[30] Dalam buku Tata
Gereja Gereja Kalimantan Evangelis dikatakan bahwa Gereja yang Universal merupakan perwujudan
dari Gereja yang Kudus dan Am, yaitu Tubuh yang esa, yang kepalanya adalah
Yesus Kristus. Sebagai anggota Tubuh Kristus, Gereja mestinya bersekutu,
bersaksi, dan melayani guna menyatakan kasih dan anugerah Allah yang menyelamatkan bagi dunia, baik dengan
perkataan dan perbuatan sambil menantikan penggenapan datangnya Kerajaan Allah.[31]
Menyelamatkan bagi dunia seharusnya tidak hanya dipahami sebagai keselamatan
jiwa (hidup kekal), tetapi juga menyelamatkan manusia secara jasmaniah sehingga
mendapatkan kehidupan yang layak dan manusiawi.
Dalam
konteks masyarakat Tuwung, Gereja seharusnya hadir secara sadar dalam mengatasi
masalah-masalah yang muncul di tengah masyarakat. Gereja akan tetap menjadi
gereja apabila menjadi berkat bagi dunia. Salah satu misi Yesus adalah
membebaskan manusia dari kemiskinan dan ketiadaan (Bdk. Luk. 4:8). Artinya
Gereja mestinya menyampaikan kabar baik kepada orang yang memiliki tingkat
ekonomi yang rendah (miskin) dalam mengupayakan dengan sungguh-sungguh agar memperoleh
hak yang sama dalam menikmati sumber-sumber ekonomi yang ada.[32]
Sama halnya dengan PNPM yang hadir sebagai penyelamat dan pembebas dari
ketiadaan ekonomi dan minimnya pembangunan di kalangan masyarakat Tuwung.
Tugas
gereja adalah untuk menyampaikan kabar baik. namun apa artinya kabar baik
apabila hanya merupakan penghiburan yang seringkali di dengar. Menyampaikan
kabar baik juga berarti mengupayakan dengan sungguh-sungguh agar orang-orang
memperoleh hak yang sama dan menikmati sumber ekonomi sebagaimana mestinya.
Dengan demikian menyampaikan kabar baik kepada orang-orang (kekurangan) berarti
menciptakan struktur ekonomi yang seimbang dan merata dengan memanfaatkan
potensi ekonomi yang ada meskipun sebenarnya hal ini bukanlah tugas utama dari
gereja itu sendiri. Gereja harus terlibat dalam tindakan yang memulihkan
keutuhan manusia biarpun tidak sepenuhnya. Dalam hal pemulihan ekonomi gereja
ikut serta dalam mengatasi dan memberdayakan suatu cara bagaimana hidup yang
sejahtera. Prioritas harus diberikan kepada yang lemah dan tak berdaya. Gereja
harus dapat mendatangkan syalom yang berarti damai (Bdk. Luk. 19:42).[33]
Gereja
sebagai garam dan terang dunia semestinya bersedia “melarutkan”
diri ke dalam dunia (umat manusia) dengan berbagai persoalan yang ada, agar
berbagai macam persoalan dunia (umat manusia) yang ada itu bisa diatasi dengan
baik, dan selanjutnya dunia (umat manusia) mengalami damai sejahtera yang Allah
sediakan. Gereja sebagai terang dunia atau pelita juga menolong umat manusia di
dunia dalam mengatasi berbagai persoalan atau hambatan guna mencapai tujuan
hidup sejahtera. Jelaslah bahwa gereja dalam konteks masyarakat Tuwung
semestinya hadir sebagai garam dan terang dunia, yaitu untuk menjawab
keperlbagaian masalah dan menolong masyarakat ke dalam kehidupan yang lebih
baik.
Gereja
tidak cukup mengarahkan pandangan warganya kepada sorga atau kerajaan Allah
atau keselamatan jiwa kelak di dunia di seberang sana (di seberang kematian),
melainkan juga menghadirkan tanda-tanda kerajaan Allah dan keselamatan itu pada
masa kini, yakni: keadilan,, perdamaian, dan keutuhan ciptaan. Keselamatan
bukan hanya keselamatan masa datang, melainkan juga keselamatan masa kini.[34]
Gereja memiliki
hak dan kewajiban untuk terlibat langsung dalam masalah-masalah sosial-ekonomi.
Hak dan kewajiban itu adalah tugas yang diserahkan oleh Allah pada gereja.
Gereja harus memberikan penilaian-penilaian terhadap masalah sosial-ekonomi, karena
mempengaruhi masalah moral.[35]
Dietrich Bonhoeffer menyatakan bahwa
kehadiran gereja dunia harus dirasakan oleh dunia itu sendiri, gereja tidak
dapat memisahkan diri dari persoalan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat
dengan demikian gereja melaksanakan pelayanan sosial juga atas kasih manusia
kepada Allah dan manusia. Sebab jika mengasihi Allah, tentu harus mengasihi
manusia, sebab manusia adalah ciptaan Allah.[36]
Salah
satu tugas panggilan gereja adalah melayani (diakonia) yang dalam pelaksanaanya
biasanya di sebut pelayanan diakonia. Dalam melaksanakan diakonianya haruslah
bersifat kariatif (mendirikan panti asuhan, pendidikan, sumbangan fakir miskin,
dsb). Tetapi lebih dari itu semua, gereja juga semakin terpanggil untuk
menyuarakan seruan kenabian memperbaiki struktur sosial-ekonomi yang masih
terasa pincang.[37]
Sama halnya dengan konteks bergereja di jemaat Tuwung, Gereja semestinya
bersifat kariatif. Dengan kata lain, gereja harus ikut serta dalam permasalahan
yang terjadi di masyarakat atau jemaat. Dengan cara melakukan pelayanan sosial
kemanusiaan kepada masyarakat atau jemaat. Pelayan sosial kemanusiaan mencakup Bidang
Pendidikan, Kesehatan Ekonomi-Politik, dan Sosial-Budaya.
Tidak cukup sampai di situ saja,
gereja semsetinya juga bersifat transformatif. Artinya gereja tetap
melaksanakan pelayanan sosial kemanusiaan kepada umat, namun harus tetap
mengacu kepada kerajaan Allah yang bersifat eskatologis. Tujuan diakonia
transformative adalah untuk membangun manusia dan dunia baru dalam rangka
Kerajaan Allah. Begitu juga halnya gereja dalam konteks masyarakat Tuwung.
Gereja semestinya lebih giat melaksanakan pelayanan diakonia kepada jemaat,
akan tetapi tidak boleh melupakan dimensi eskatologisnya. Singkatnya, gereja
melakukan semangat pelayanan diakonia dan semangat pula dalam hal pemberitaan
akan Kerajaan Allah.[38]
BAB
V
PENUTUP
Demikianlah yang
dapat penulis paparkan terkait upaya bereklesiologi. Penulis berharap melalui
tulisan ini, dapat memberi sumbangan pemikiran dalam upaya bergereja secara
kontekstual di bumi Kalimantan. Mengingat bahwa gereja-gereja di Indonesia
terkhususnya di bumi Kalimantan seringkali dipandang sebagai hasil dari
gereja-gereja barat. Melalui tulisan ini penulis mengerahkan segala kemampuan
dalam memahami gereja di bumi Kalimantan ini.
Gereja
sebagai PNPM adalah upaya untuk memahami gereja secara kontekstual di Desa
Tuwung. Melalui tulisan ini penulis berharap para mahasiswa/I teologi,
khususnya di bumi Kalimantan ini dapat lebih giat dalam upaya kontekstualisasi
dan menggambarkan seperti apa semestinya tugas panggilan dan misi gereja
terhadap kepelbagaian masalah atau persoalan yang ada. Demikianlah makalah ini
penulis paparkan, semoga dapat berguna dan memberi pembelajaran bagi kita
semua.
[1] Mikhail Comans, Manusia Dayak: Dahulu, Sekarang, Masa Depan
(Jakarta: Gramedia, 1987) 3.
[2] Kong Yuanzhi, Silang Budaya Tiongkok Indonesia (Jakarta:
Bhuana Ilmu Populer, 1999) 3-4.
[3] Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan Di Indonesia (Jakarta:
Djambatan, 2004) 119-200.
[8] Secara
umum Kaleka Lewu merupakan daerah peninggalan nenek moyang suku Dayak Zaman
Dahulu kala yang biasanya ditandai dengan adanya bekas tiang-tiang PNPM atau
rumah panggung, pohon-pohon besar dan berumur tua seperti durian, langsat dan
sebagainya. Lokasi tersebut umumnya dipelihara dan dilindungi oleh pihak
keluarga secara turun temurun sebagai harta warisan yang peruntukkan dan
pemanfaatannya untuk kepentinagan bersama masyarakat. Lihat di Skripsi, Eklesia
Putra. Kaleka Lewu, Pengungkapan sejarah
dan nilainya di masyarakat desa Penda Pilang dan Tumbang Manyangan.
Banjarmasin: STT GKE, 2015.
[18] Bdk. G.C. Van
Niftrik & B.J. Boland, Dogmatika Masa
Kini, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), 359.
[19] Keloso S. Ugak, Materi Kuliah Dogmatika 2 Power Point
(Dogmatika2), (Banjarmasin: STT GKE, 2014).
[20] http://pnpmmpdboyolali.org/web/index.php/about-us/apa-itu-pnpm-mandiri-perdesaan. Di akses pada hari kamis, 26
November 2015, Pukul 23:28 WITA.
[24] Keloso S. Ugak, Materi Kuliah Dogmatika 2 Power Point
(Dogmatika2) , (Banjarmasin: STT GKE, 2014), 12.
[30]Gerald
O’Collins & Edwards G. Farrugia, Kamus
Teologi (Yogyakarta: Kanisius, 1996), 86
[36] Ranto G.Simora, Misi Kemanusiaan Dan Globalisasi, Teologi
Misi Dalam Konteks Globalisasi di Indonesia, (Bandung: Ink Media 2006),
Bagian Pendahuluan xii.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar