Senin, 04 April 2016

Bereklesiologi dalam konteks jemaat di desa Tuwung



Kata Pengantar
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan kita Yesus Kristus karena atas berkat dan karuniaNyalah makalah yang penulis buat dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Dogmatika 2 ini dapat selesai.  Dalam paparan isi makalah yang penulis sajikan pada halaman selanjutnya. penulis mengupayakan menjelaskan bagian-bagian yang menjadi dasar permasalahan yang menjadi pokok bahasan dalam makalah penulis. Dalam penyusunan makalah ini, penulis banyak mendapat tantangan dan hambatan akan tetapi dengan dukungan dari berbagai pihak serta semangat untuk membuat tulisan yang bermanfaat maka tantangan itu bisa teratasi. Olehnya itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini, semoga bantuannya mendapat balasan yang setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa.
Inti dasar dari permasalahan yang penulis paparkan dalam makalah ini yaitu mengenai Gereja sebagai PNPM  . Berbagai sumber bacaan yang dapat membantu, penulis gunakan sebagai pedoman penulis membuat makalah ini, terutama buku dan sumber internet. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik dan saran dari pembaca sangat penulis harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.
                                                                                                              






BAB I
PENDAHULUAN
            Dalam mempelajari ilmu teologi, tentunya akan mempelajari dogmatika. Dogmatika adalah ilmu yang mempelajari tentang apa yang dipercaya. Berbeda dengan etika yang mempelajari tentang apa yang harus di lakukan. Secara umum, di dalam dogmatika akan mempelajari tentang Soteriologi (ilmu yang mempelajari tenntang keselamatan), Kristologi (ilmu yang mempelajari tentang Kristus), Eklesiologi (ilmu yang mempelajari tentang gereja, Pneumatologi (ilmu yang memperlajari tentang Roh Kudus) dan eskhatologi (Ilmu yang mempelajari tentang akhir zaman.
            Adapun yang menjadi focus penulisan dalam makalah ini adalah eklesiologi, ilmu yang mempelajari tentang gereja. Bereklesiologi berarti suatu upaya untuk memahami gereja secara kontekstual. Dari tugas yang di berikan pada mata kuliah dogmatika 2, penulis di minta untuk membuat makalah mengenai upaya bereklesiologi di desa dan jemaat penulis sendiri, yaitu Desa Tuwung. Model atau alat bantu yang penulis gunakan dalam rangka bereklesiologi adalah PNPM. Dalam isi makalah ini penulis akan memaparkan sejarah singkat suku Dayak Ngaju, sejarah singkat desa Tuwung, gambaran umum masyarakat Tuwung, permasalahan yang sedang dihadapi, rumusan eklesiologi dan pelaksanaan tugas panggilan gereja dalam konteks masyarakat dan jemaat Tuwung. Untuk lebih jelasnya akan penulis paparkan pada bab selanjutnya.
                                                                                                  





BAB II
PEMBAHASAN
A.  Sejarah Singkat Suku Dayak Ngaju
Berdasarkan sejarahnya, suku dayak yang menghuni pulau Kalimantan merupakan keturunan dari para imigran yang berasal dari daerah Yunnan Cina Selatan. Kelompok-kelompok yang pertama masuk Kalimantan adalah kelompok Negrid dan Wedid yang sekarang sudah tidak lagi ada. Kemudian disusul kelompok yang lebih besar yang disebut dengan Proto-Melayu. Perpindahan mereka ini diperkirakan terjadi di antara tahun 3000-1500 Sebelum Masehi. Kelompok-kelompok imigran ini memilih waktu dan jalan yang berbeda. Ada kemungkinan suku-suku bangsa Dayak yang bermukim di Kalimantan Tengah dan Selatan untuk beberapa waktu singgah di Sumatera dan Jawa.[1] Dalam perkembangan selanjutnya terjadi penyebaran gelombang kedua yang disebut Deutero Melayu sekitar 200-300 Sebelum Masehi. Mereka ini berasal dari Tiongkok Selatan. Selanjutnya dalam Proses Interaksi Sosial terjadi pembauran antara Proto-Melayu dan Deutero-Melayu. [2]Kedua Keturunan inilah yang menghuni Pulau Kalimantan, Termasuk Suku Dayak Ngaju dewasa ini.
            Tempat tinggal suku-bangsa Ngaju adalah di sepanjang sungai besar Kalimantan Tengah, seperti Kapuas, Kahayan, Rungan, Manuhing, Barito dan Katingan. Di daerah aliran sungai Kahayan suku-bangsa Ngaju berdiam di sebelah hilir. Batas kediaman orang Ngaju di hulu Kahayan hanya sampai di Tumbang Miri saja sebagai nya yang terakhir, sedangkan di hilir terus turun sampai ke muara sungai Kahayan. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Ngaju dan telah lama menjadi Lingua Franca orang dayak Kalimantan Tengah. Peranan bahasa Ngaju menjadi penting di Kalimantan Tengah, berkat usaha para Zending Protestan dari Jerman yang telah memilih bahasa itu dalam penyebaran agama Kristen dan dalam menterjemahkan kitab Injil ke dalam bahasa pribumi. [3]
B.  Sejarah Singkat Desa Tuwung
            Dahulu sekitar abad ke-18 M nama asal Desa Tuwung adalah Dukuh Bengkel yang di kepalai oleh seorang Kepala Dukuh yang bernama Hamun. Kampung Dukuh Bengkel pada saat itu terletak dipinggir sungai Kahayan. Saat itu, Dukuh Bengkel berada di bawah Pemerintahan Kampung Sigi yang dikepalai oleh Jaga Takep. Selanjutnya warga Dukuh Bengkel pindah ke Kampung Tuwung yang diprakarsai oleh Kandang Kasau sehingga menjadi kampong devinitif sampai tahun 1979. Pada tahun 1980 Kampung Tuwung berubah status menjadi Desa Tuwung.
            Pada mulanya Tuwung terletak di pinggir sungai Kahayan. Pada umumnya  ini di huni oleh orang Ngaju. Tidak ada informasi yang jelas siapa yang pertama mendirikan desa ini. Akan tetapi, ada yang mengatakan bahwa orang yang pertama-tinggal di desa ini adalah orang yang berasal dari hilir yang bekerja di hutan daerah tersebut. Para pekerja ini membawa keluarganya untuk menetap didaerah tersebut dengan alasan pekerjaan. Dalam perkembangannya, Pada Tahun 80-an jumlah kepala keluarga di desa ini sekitar 85 KK. Jalur transportasi yang digunakan umumnya adalah jalur Sungai (Sungai Kahayan). Konon, apabila menggunakan perahu membutuhkan waktu 1 satu penuh untuk bisa sampai ke kota Palangka Raya. Sekolah yang tersedia hanyalah Sekolah Dasar, karena Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah ke Atas berada di ibu kota Kecamatan, yaitu di  Bukit Rawi. Karena keadaan yang tidak memungkinkan, ada banyak anak-anak yang tidak mau melanjutkan sekolahnya dengan alasan jarak yang jauh dan biaya yang mahal. Pekerjaan pada umumnya adalah mambatang[4] dan manetes[5]. Kehidupan pada saat itu masih bergantung pada hasil hutan, seperti kayu dan rotan. Hasil hutan ini kemudian dijual untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dalam memenuhi kebutuhan sandang, masyarakat harus membelinya dari para pedagang Banjar yang berdagang menggunakan Kapal.[6]
            Pada perkembangannya, sekitar tahun 1985 desa Tuwung mengalami perpindahan dari pinggir sungai Kahayan ke daerah trans yang terletak di pinggiran jalur lintas Palangka Raya - Kuala Kurun. Akibatnya  Tuwung yang awalnya terletak di pinggir sungai Kahayan menjadi kosong tanpa penduduk. Semua warga pindah ke tempat yang baru.  Tuwung yang lama dewasa ini di sebut Tuwung Sila[7], dan Masyarakat dayak Ngaju biasanya menyebutnya Kaleka Lewu[8]. Sampai saat ini masyarakat menetap di tempat yang baru. Adapun alasan perpindahan tersebut adalah karena letak yang terlalu rendah dari permukaan sungai, sehingga apabila air pasang desa menjadi banjir dan aktivitas masyarakat tidak berjalan dengan baik.
C. Gambaran Umum Masyarakat  Tuwung
             Tuwung merupakan  yang paling dekat dengan Kotamadya Palangka Raya dan Kecamatan Kahayan Tengah (Ibukota Bukit Rawi). Kecamatan Kahayan Tengah Memiliki 14 desa yaitu : Desa Tanjung Sangalang, Desa Penda Barania, Desa Bukit Rawi, Desa Tuwung, Desa Sigi, Desa Petuk Liti, Desa Bukit Liti, Desa Bahu Palawa, Desa Pamarunan, Balukon, Desa Bukit Bamba, Desa Parahangan, dan Desa Bereng Rambang.  Kecamatan Kahayan Tengah memiliki luas 1.638 km2 atau 2,50%, secara astronomis terletak pada posisi 02°08’56’ - 02°09’37’ Lintang Selatan dan 113°94’ - 114°65’ Bujur Timur.[9]
            Secara administratif, Kecamatan Kahayan Tengah ini memiliki batas wilayah sebagai berikut:
Sebelah Utara berbatasan dengan       : Desa Sigi/ Desa Bukit Guha
Sebelah Selatan berbatasan dengan                : Desa Bukit Rawi
Sebelah Timur berbatasan dengan      : Hutan Produksi/Kecamatan Timpah Kab. Kapuas
Sebelas Barat berbatasan dengan        : HutanProduksi/ Kecamatan Bukit Batu Kota                       Palangka Raya
            Kondisi fisik wilayah (fisiografi) Kecamatan Kahayan Tengah, pada bagian utara dan timur sebagian besar berada di wilayah daratan dengan tingkat ketinggian antara 0-50 m di atas permukaan laut dan tingkat kemiringan antara 0-8%, sedangkan pada bagian barat dan selatan terdiri atas daerah rawa. Curah hujan yang dimiliki kecamatan kahayan tengah dengan rata-rata pada musim hujan sebesar 242 mm dan pada musim kemarau rata-rata 50 mm. Curah hujan rata-rata 2057 mm pertahun dengan suhu 25°C - 35°C. Hal ini membuktikan bahwa bidang pertanian dengan subbidang kehutanan dan perkebunan sangat baik untuk diperdayakan baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia.[10]  Desa Tuwung merupakan salah satu desa yang termasuk dalam Kecamatan Bukit Rawi, Kabupaten Pulang Pisau, Provinsi Kalimantan Tengah. Luas wilayah Desa Tuwung yaitu 115 Km.
Desa Tuwung terdiri dari 2 Rukun Tetangga (RT) yaitu RT 01 dan RT 02. RT 01 terdiri dari 58 KK dengan 227 jiwa, sedangkan RT 02 terdiri dari 78 KK dengan  325 jiwa. Jadi, Desa Tuwung berpenduduk 136 KK dengan 552 jiwa. Penduduk Laki-laki berjumlah 294 jiwa dan Penduduk Perempuan berjumlah 258 jiwa. Pemeluk Agama Kristen berjumlah 382 jiwa, Islam 73 jiwa, Hindu Kaharingan 98 jiwa. Dari data ini terlihat bahwa mayoritas penduduk Desa Tuwung beragama Kristen.[11]
            Perdagangan hampir 80% dikuasai oleh orang Banjar dan Jawa. Meskipun ada sebagian kecil para pedagang berasal dari masyarakat setempat. Di desa ini, hanya sedikit warganya yang berprofesi sebagai Pegawai Negeri.  Pegawai Negeri kebanyakan berprofesi sebagai guru SD serta pekerja dikantor Balai desa. Dengan melihat keadaan masyarakat Tuwung yang boleh dikatakan masih menyandarkan kehidupannya dengan cara menyadap karet. Maka dapat dikatakan kemampuan ekonomi masih pas-pasan.
            Bagi para pendatang baru (suku Batak, Jawa, dan Banjar) yang datang, mereka tidak menutup kemungkinan untuk bergabung dalam masyarakatnya, bahkan menjadi bagian dalam anggota keluarga. Struktur sosial yang ada di  Tuwung terdiri atas:
1. Penghulu adat
2. Kepala  dan aparatnya
3. Lembaga Sosial Masyarakat.
            Masyarakat di desa ini sangat memegang teguh adat istiadat mereka, secara turun temurun mereka tetap melaksanakannya, baik adat istiadat tentang kehidupan dan hukum adat tentang kematian. Untuk itulah dalam masyarakat setempat membentuk perhimpunan adat yang dikepalai oleh kepala adat. Adapun hukum adat yang digunakan oleh masyarakat Tuwung merupakan hukum adat yang sudah ada dari nenek moyang jaman dulu. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Ngaju.
            Mata pencaharian masyarakat di Tuwung beragam dari tahun ke tahun. Mata pencaharian masyarakat tahun 1990an adalah berladang, karet (mantat), Rotan (netes), Menangkap ikan, Dagang Sembako. Sejak Tahun 2000 dari empat bidang usaha yang mendominasi adalah mata pencaharian bidang pertanian dan perkebunan. Hal ini menunjukan bahwa usaha bidang pertanian dan perkebunan sudah menjadi pemenuhan pendapatan bagi keluarga desa  Tuwung. Mata pencaharian ini terus berjalan sampai saat ini.
            Pada umumnya profesi masyarakat Tuwung adalah sebagai Pamantat[12]. Nampak bahwa dampak yang ditimbulkan dari perpindahan letak  adalah terjadi perubahan mata pencaharian. Masyarakat Tuwung tidak lagi bekerja sebagai Pambatang dan Penetes. Berdasarkan Monografi Badan Penyuluhan Pertanian Kecamatan Kahayan Tengah, Tahun 2008, jumlah warga  Tuwung yang bekerja sebagai Pamantat sebanyak 178 KK.  Desa Tuwung merupakan yang secara merata dan yang paling mendominasi adalah pekerjaan dalam bidang pertanian dan perkebunan karet. Di desa ini terdapat 1 pasar, 8 toko/kios, dan 2 warung.


BAB III
Permasalahan Yang Sedang Dihadapi
A. Gambaran Permasalahan Yang Ada di Desa Tuwung           
            Berikut penulis akan memaparkan masalah yang umum dihadapi oleh masyarakat Tuwung dewasa ini, di1antaranya adalah:
Berikut penulis akan memaparkan masalah yang umum dihadapi oleh masyarakat Tuwung dewasa ini, diantaranya adalah:
a. Penurunan Harga Karet
            Masyarakat Tuwung pada umumnya adalah Pamantat. Pendapatan dari hasil menyadap karet semata-mata untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Dewasa ini masyarakat Tuwung banyak mengeluh dengan turunnya harga karet. harga karet yang dulunya mencapai Rp. 18.000/Kg, kini hanya berkisar Rp. 6500/Kg. Akibatnya ada banyak warga yang memilih untuk tidak menyadap karet. Hal ini merupakan masalah terbesar yang dihadapi oleh masyarakat Tuwung pada saat ini. “ jia harapan ndai amun je mantat wayah tuh nah, sampet lepah behas melai huma, malaok ih je puna pasti, amun je maharap gajih nah di baka” (tidak ada harapan lagi kalau masih menyadap  sekarang  ini, sempat habis beras di rumah, hanya mencari ikan yang pasti, kalau hanya mengaharapkan gajih percuma).[13] Nampak bahwa terjadi keputusasaan karena penurunan harga karet. kebun karet banyak yang tidak lagi di urus. Salah satu akibatnya adalah lumpuhnya perekonomian. Dewasa ini, perekonomian masyarakat desa Tuwung dapat dikatakan pas-pasan
b. Kebakaran Hutan
            Sejak tahun 2010-2015 hampir setiap tahun lahan masyarakat Tuwung terbakar.[14] Kebakaran terjadi diduga akibat kelalaian warga dalam menjaga lahannya. Umumnya masyarakat Dayak apabila hendak bercocok tanam/berladang harus membakar lahannya terlebih dahulu. Tujuannya adalah agar tanah yang menjadi tempat penanaman menjadi subur serta lahan tersebut menjadi bersih dari kayu-kayu yang menghalangi proses penanaman. Akan tetapi pembakaran tersebut oleh masyarakat Tuwung tidak di jaga dengan baik agar tidak menjalar ke lahan yang lain. Akibatnya banyak lahan warga yang lain ikut terbakar bersama dengan tanaman yang sudah di tanami sebelumnya, tanpa terkecuali pohon karet. Dampak lain yang begitu menyedihkan adalah masyarakat tidak lagi dapat menyadap karet seperti biasanya karena terbakar habis.
c. Kurangnya Kesadaran akan Pentingnya Pendidikan
            Pendidikan adalah salah satu jalan agar seseorang mendapat status sosial yang lebih baik. Umumnya orang berlomba-lomba untuk menyekolahkan anak-anaknya. Namun tidak demikian yang terjadi di desa Tuwung. Kesadaran akan pentingnya pendidikan sangat lemah. Mereka lebih baik memilih untuk bekerja bahkan kawin muda. Pendidikan di anggap hanya untuk menghabiskan uang yang ada. Ketika penulis bertanya dengan salah satu pemuda, jawabannya adalah “narai guna sakula sakira palepah duit ih, are uluh je S1 sama ih ampi ah, Jatun kare bagawi hang kantor kia. Nenga beban akan uluh bakas ih, kueh jadi susah, nambah susah hindai” ( apa gunanya sekolah yang sekiranya menghabiskan uang saja, banyak orang yang S1 nampaknya sama saja, tidak ada yang bekerja di kantor. Memberikan beban kepada orang tua saja, sudak miskin, tambah miskin).[15] Selain itu, salah satu penyebabnya adalah kemiskinan yang merajalela. Orang tua kebanyakan tidak mampu untuk menyekolahkan anaknya, terkhususnya di perguruan tinggi.
            Diatas semuanya, permasalahan yang di alami masyarakat Tuwung berujung pada menurunnya tingkat perekonomian. Masyarakat sangat sulit untuk mencara jalan keluar untuk permasalahan tersebut.
B.  Gambaran Permasalahan Yang Ada di Jemaat Tuwung
            Permasalahan yang ada di di kampung seperti yang sudah dijelaskan diatas, secara tidak langsung mempengaruhi jemaat di desa Tuwung. Berikut penulis akan memaparkan kepelbagaian permasalahan yang umumnya dihadapi oleh jemaat Tuwung, di antaranya adalah sebagai berikut:
a. Kurangnya Pelayan Diakonia
            Pelayanan diakonia merupakan salah satu dari tri tugas panggilan gereja. Pelayan diakonia adalah pelayanan batuan persaudaraan.[16] Pelayanan diakonia gereja berarti pelayanan bantuan persaudaraan gereja kepada orang-orang yang membutuhkan. Realitas yang terjadi di jemaat Tuwung adalah kurangnya pelayanan diakonia. Padahal kepengurusan jemaat sudah terstruktur dengan baik. Akibatnya jemaat merasa kurang diperhatikan, sehingga jemaat merasa bahwa gereja tidak mampu untuk menjawab kebutuhan.
            Dampak dari kebakaran hutan, penurunan harga karet, dan kurangnya kesadaran akan pentingnya pendidikan yang paling utama adalah lumpuhnya perekonomian dan menurunnya tingkat kesehatan jemaat Tuwung. Dalam hal inilah, gereja kurang melaksanakan pelayanan bantuan persaudaraan kepada jemaat.
b. Jemaat yang Beribadah Berkurang
            Lumpuhnya perekonomian di jemaat Tuwung, berdampak bagi gereja. Realitasnya, jemaat lebih memilih untuk bekerja dari pada harus pergi ke gereja. Muncul pemahaman jemaat bahwa pergi ke gereja hanya mengeluarkan uang untuk persembahan saja.
            Dengan kondisi jemaat yang tidak sehat, secara otomatis jemaat akan susah untuk dapat beribadah ke gereja. Jemaat tidak mungkin berangkat ke gereja dengan keadaan sakit. Nampak bahwa kesehatan jemaat berdampak pada peribadatan jemaat. Bahkan ada pelayan kategorial, seperti SP/Per tidak terlaksana sesuai jadwal. Karena jemaat sedang dalam keadaan sakit. Begitu juga halnya dalam ibadah minggu, jumlah jemaat yang pergi ke gereja menjadi berkurang.







BAB IV
RUMUSAN EKLESIOLOGI
            Secara harafiah eklesiologi berarti pemahaman tentang gereja (bahasa Portugis:Igreja; bahasa Yunani : Ekklesia).[17] Bereklesiologi pada dasarnya adalah upaya untuk menjawab atau menggambarkan makna dan tugas panggilan gereja dalam jemaat, karena kata Ecclesia sendiri berarti perkumpulan orang-orang yang di panggil keluar menghadap.[18] Ketika kata ecclesia ini digunakan untuk menjelaskan makna gereja, maka ecclesia berarti persekutuan orang-orang yang dipanggil keluar dari kegelapan dosa untuk datang menghadap dan menerima anugerah penyelamatan Allah melalui Yesus dan Roh Kudus namun selanjutnya di kembalikan atau diutus kedalam dunia yang gelap tersebut untuk mewartakan anugerah penyelamatan  Allah tersebut.[19]
            Berangkat dari maksud tersebut, penulis kemudian mencoba melihat model atau alat bantu yang sesuai dengan konteks bergereja di jemaat Tuwung, berangkat dari situasi dan kondisi dewasa ini. Menurut penulis model atau alat bantu yang tepat adalah“Gereja Sebagai Organisai PNPM dalam Konteks Bergereja Di Jemaat Tuwung”. Pemilihan judul tersebut diangkat berdasarkan situasi, kondisi, serta permasalahan yang ada pada jemaat Tuwung.
A.   Gambaran PNPM Secara Umum
            Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM Mandiri Perdesaan atau PNPM-Perdesaan atau Rural PNPM) merupakan salah satu program pemberdayaan masyarakat yang mendukung PNPM Mandiri yang wilayah kerja dan target sasarannya adalah masyarakat perdesaan. PNPM Mandiri Perdesaan mengadopsi sepenuhnya mekanisme dan prosedur Program Pengembangan Kecamatan. Tujuan Umum PNPM Mandiri Perdesaan adalah meningkatkan kesejahteraan dan kesempatan kerja masyarakat miskin di perdesaan dengan mendorong kemandirian dalam pengambilan keputusan dan pengelolaan pembangunan.[20]             PNPM juga menyediakan prasarana sarana sosial dasar dan ekonomi yang diprioritaskan untuk masyarakat.
            Program pemberdayaan masyarakat ini dapat dikatakan sebagai program pemberdayaan masyarakat terbesar di tanah air, bahkan terbesar di dunia. Dalam pelaksanaannya, program ini memprioritaskan kegiatan bidang infrastruktur desa, pengelolaan dana, kegiatan pendidikan dan kesehatan bagi masyarakat di wilayah perdesaan. Program ini terdiri dari tiga komponen utama, yaitu: a) Dana BLM (Bantuan Langsung Masyarakat) untuk kegiatan pembangunan, b) Dana Operasional Kegiatan (DOK) untuk kegiatan perencanaan pembangunan partisipatif dan kegiatan pelatihan masyarakat (capacity building), dan c) pendampingan masyarakat yang dilakukan oleh para fasilitator pemberdayaan, fasilitator teknik dan fasilitator keuangan.[21]
            PNPM Mandiri Pedesaan di pimpin oleh lurah atau kepala desa. Dalam PNPM Mandiri Perdesaan, seluruh anggota masyarakat didorong untuk terlibat dalam setiap tahapan kegiatan secara partisipatif, mulai dari proses perencanaan, pengambilan keputusan dalam penggunaan dan pengelolaan dana sesuai kebutuhan paling prioritas di desanya, sampai pada pelaksanaan kegiatan dan pelestariannya. [22]
B.   Peran dan Fungsi  PNPM Bagi Masyarakat Tuwung
            Salah satu Peran dan fungsi PNPM yang mendasar bagi masyarakat Tuwung tidak lain adalah membantu masyarakat dalam hal perekomomian. Dengan adanya PNPM, masyarakat di beri kemudahan untuk keluar dari permasalahan ekonomi. PNPM seolah-olah hadir sebagai organisasi atau lembaga yang mampu menjawab kebutuhan masyarakat Tuwung. Hal ini terbukti dengan banyaknya jumlah masyarakat yang terbantu dengan adanya PNPM. Dana yang disalurkan untuk dipinjam, membantu masyarakat untuk membuka usaha dan pekerjaan, seperti berdagang dan berbisnis. Hasil dari usaha dan pekerjaan tersebut secara tidak langsung membuat masyarakat Tuwung lebih baik dalam hal perekonomian. Sehingga masyarakat Tuwung mampu membiayai kepelbagaian kebutuhan dan mengatasi permasalahan hidup, seperti, membangun rumah, menyekolahkan anak, berobat, dan lain-lain.
            Di sisi lain, PNPM juga terlibat dalam pembangunan desa, seperti jalan dan infrastruktur lainnya. Dengan demikian desa menjadi maju dan dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat Tuwung. Selain itu, dengan infrastruktur yang memadai, desa Tuwung dewasa ini dapat menyelenggarakan berbagai macam kegiatan. Seperti yang sudah dijelaskan diatas, bahwa salah satu tujuan PNPM adalah untuk pembangunan desa. Hasil pembangunan ini berguna untuk seluruh masyarakat desa Tuwung, baik miskin maupun kaya. Di atas semuanya, selain desa menjadi maju, kehidupan masyarakat desa Tuwung pun menjadi maju. Hadirnya PNPM sangat membantu masyarakat atas permasalahan yang di hadapi dewasa ini. Dalam perkembangannya, taraf hidup masyarakat Tuwung lebih baik dari sebelumnya.
C.   Definisi Gereja dan Pemahaman Gereja Sebagai Garam dan Terang Dunia
Kata Gereja berasal dari kata Portugis Igreya. Cara pemakaiannya sekarang ini adalah terjemahan dari kata Yunani Kyriake, yang berarti menjadi milik Tuhan. Adapun yang dimaksud dengan milik Tuhan adalah orang yang percaya kepada Tuhan Yesus sebagai Juruslamat. Jadi, yang dimaksud dengan Gereja adalah persekutuan para orang beriman.[23]
Ecclesia sebagai Umat Allah sudah ada sejak zaman (PL) seiring dengan pemanggilan Abraham dan bangsa Israel untuk menjadi umat Allah dan menjadi saluran berkat bagi bangsa-bangsa. Lahirnya Gereja yang dipahami sebagai ecclesia dikaitkan dengan Pentakosta (Kis. 2:1-11). Dalam hal ini, maka lahirnya Gereja pada dasarnya adalah pekerjaan Roh Kudus.“ [24]
         Salah satu ungkapan yang dipakai untuk melukiskan gereja sebagai suatu persekutuan yang baru adalah Garam dan Terang Dunia. Gereja adalah persekutuan para murid yang bersedia “melarutkan” diri ke dalam dunia (umat manusia) dengan berbagai persoalan yang ada, agar berbagai macam persoalan dunia (umat manusia) yang ada itu bisa diatasi dengan baik, dan selanjutnya dunia (umat manusia) mengalami damai sejahtera yang Allah sediakan. Gereja sebagai garam dunia, misalnya, menjadi persekutuan yang:
1.       Menghadirkan dan memelihara hal-hal yang baik di dalam masyarakat;
2.       Hadir untuk memulihkan berbagai keadaan yang tidak baik di dalam masyarakat kepada keadaan semula yang baik;
3.       Hadir untuk mencegah terjadinya berbagai hal buruk yang bisa menimpa masyarakat;
4.       Menghantar umat manusia memuliakan Allah[25]
            Makna gambaran Gereja sebagai terang dunia atau sebagai pelita adalah persekutuan orang percaya yang hadir di tengah-tengah dunia agar dunia terarah kepada hal-hal baik yang menjadi tujuannya. Gereja sebagai terang dunia atau pelita juga menolong umat manusia di dunia dalam mengatasi berbagai persoalan atau hambatan guna mencapai tujuan hidup sejahtera. Kemudian mengarahkan umat manusia kepada sang Sumber Terang. Sumber Terang tersebut adalah Yesus Kristus. Gereja sebagai terang dunia berarti hadir di tengah-tengah dunia untuk membangun rasa damai dan sejahtera bagi semua orang.[26]
D.  Dasar Alkitabiah Bagi Rumusan Eklesiologi Gereja Sebagai PNPM
Gambaran PNPM serta fungsinya bagi masyarakat Tuwung diatas menjadi alasan mengapa penulis memilih PNPM Sebagai Model Bergereja Dalam Konteks Jemaat Tuwung. Dalam hal ini, penulis akan memberikan dasar-dasar sebagai bahan yang memperkuat model tersebut. Oleh sebab itu, penulis memberikan dasar Alkitab yang ada berdasarkan kesamaan dari peran STT GKE sebagai organisasi atau lembaga yang membebaskan dan mampu menjawab persoalan yang ada. Berikut penulis akan memaparkan dasar alkitabiah tersebut, antara lain:
a.       Lukas 4:18-19: “Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku  untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang.[27]
b.      Yakobus 2:6: “ Dengarkanlah hai saudara-saudara yang kukasihi! Bukankah Allah memilih orang-orang yang dianggap miskin oleh dunia ini untuk menjadi kaya dalam iman dan menjadi ahli waris Kerajaan yang telah dijanjikanNya kepada barangsiapa yang mengasihi Dia?”[28]
c.       Kisah Para Rasul 4:32: “ Adapun kumpulan orang yang telah percaya itu, mereka sehati sejiwa, dan tidak seorangpun yang berkata, bahwa sesuatu dari kepunyaannya adalah miliknya sendiri, tetapi segala sesuatu adalah kepunyaannya mereka bersama”[29]

E.  Gereja Sebagai PNPM
            Pada pembahasan ini penulis tidak lupa untuk memuat kerangka dasar dalam bereklesiologi, yakni adanya Tuhan yang memimpin dan mendirikan jemaat-Nya, adanya umat yang didirikan itu yang menerima dan membentuk persekutuan dan kemudian adanya tempat (rumah-rumah dan Bait Allah) bagi mereka untuk melaksanakan perkumpulan mereka sehingga disebut sebagai ekklesia (yang dipanggil untuk bersekutu). Tentunya diantara jemaat yang didirikan tersebut terdiri dari manusia-manusia yang berbeda-beda latar belakang kehidupannya. Baik itu dari segi suku, profesi dan latar belakang sosial lainnya. Dalam PNPM tiga kerangka dasar ini sudah tercapai. Lurah atau kepala desa merupakan orang memimpin, mengkoordinir, dan melaksanakannya. Kemudian adanya persekutuan di dalamnya yang terdiri dari orang-orang atau masyarakat desa Tuwung yang terdiri dari berbagai latar belakang, suku, sosial dan ekonomi. Lalu adanya tempat untuk melaksanakan perkumpulan atau persekutuan tersebut (balai desa, kantor desa, atau bangunan khusus).
Selanjutnya, di atas telah dijelaskan mengenai PNPM, peran dan fungsinya dalam kehidupan masyarakat Tuwung serta dasar alkitabiahnya. Selanjutnya penulis akan menggambarkan PNPM Sebagai Model Bergereja yang selanjutnya disebutkan Gereja Sebagai PNPM karena memiliki kesamaan namun dengan tidak melupakan pula perbedaan yang ada. Penulis akan memberikan gambaran bahwa rupanya Gereja memiliki kesamaan dalam perannya dengan PNPM yang ada didalam masyarakat masyarakat Tuwung.
            Tidak dapat dipungkiri bahwa gereja merupakan tempat berkumpulnya umat dari berbagai latar belakang suku, ras, sosial dan ekonomi. Gereja sendiri dimaknai sebagai persekutuan dari orang-orang percaya terdiri dari jemaat-jemaat yang berbeda. Gereja sebagai PNPM dapat dipahami sebagai persekutuan orang-orang atau masyarakat dalam desa yang terdiri dari berbagai latar belakang yang berbeda. Diatas semuanya, gereja adalah pemersatu bagi seluruh umat. Di dalam PNPM sendiri terdiri seluruh anggota masyarakat yang berbeda latar belakangnya. Kehadiran PNPM juga menjadi pemersatu bagi seluruh masyarakat desa Tuwung.
            Dalam upaya bereklesiologi secara kontekstual atas peran dan fungsi PNPM dalam kehidupan masyarakat desa Tuwung, ternyata ada kesamaan dengan gereja. Secara Fungsional, PNPM memberikan pembebasan dari ketertinggalan perekonomian dan menjadikan masyarakat sebagai manusia yang utuh. Gereja hadir ditengah-tengah kedunia ini memberi pembebasan kepada umat dari kepincangan sosial, seperti kemiskinan, sakit penyakit, dan lain-lain. gereja tidak dapat memisahkan diri dari persoalan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Gereja bukan hanya sekedar memberitakan keselamatan sorgawi tetapi juga keselamatan yang bersifat duniawi yang nampak pada pelayanan diakonia yang dilakukan oleh gereja.
Gereja hadir ditengah dunia sebagai garam dan terang dunia. Gereja sebagai terang dunia atau pelita juga menolong umat manusia di dunia dalam mengatasi berbagai persoalan atau hambatan guna mencapai tujuan hidup sejahtera.  Begitu juga halnya dengan PNPM. Hadirnya PNPM di desa Tuwung dapat membantu dan menolong masyarakat dalam mengatasi berbagai persoalan atau hambatan guna mencapai tujuan hidup sejahtera.
Mengakhiri bagian ini, penulis menyadari bahwa keterlibatan gereja terhadap pemasalahan sosial-ekonomi adalah bukan tugas utama dari Gereja. Akan tetapi, tidak di pungkiri bahwa gereja hadir di tengah-tengah keadaan umat memiliki kepelbagaian masalah, termasuk masalah sosial-ekonomi. Inilah kenyataannya, bahwa gereja tidak bisa tinggal diam akan permasalahan tersebut.
F. Pelaksanaan Tugas Panggilan atau Misi Gereja Dalam Konteks Masyarakat dan Jemaat Tuwung
            Setelah memaparkan permasalahan dan rumusan eklesiologi, tugas penulis selanjutnya adalah menggambarkan seperti apa semestinya pelaksanaan tugas panggilan atau misi gereja dalam konteks masyarakat dan jemaat Tuwung.
            Gereja adalah suatu komunitas yang didirikan oleh Yesus Kristus dan diurapi oleh Roh Kudus sebagai tanda terakhir kehendak Allah untuk menyelamatkan seluruh umat manusia.[30] Dalam buku Tata Gereja Gereja Kalimantan Evangelis dikatakan bahwa  Gereja yang Universal merupakan perwujudan dari Gereja yang Kudus dan Am, yaitu Tubuh yang esa, yang kepalanya adalah Yesus Kristus. Sebagai anggota Tubuh Kristus, Gereja mestinya bersekutu, bersaksi, dan melayani guna menyatakan kasih dan anugerah Allah yang menyelamatkan bagi dunia, baik dengan perkataan dan perbuatan sambil menantikan penggenapan datangnya Kerajaan Allah.[31] Menyelamatkan bagi dunia seharusnya tidak hanya dipahami sebagai keselamatan jiwa (hidup kekal), tetapi juga menyelamatkan manusia secara jasmaniah sehingga mendapatkan kehidupan yang layak dan manusiawi.
            Dalam konteks masyarakat Tuwung, Gereja seharusnya hadir secara sadar dalam mengatasi masalah-masalah yang muncul di tengah masyarakat. Gereja akan tetap menjadi gereja apabila menjadi berkat bagi dunia. Salah satu misi Yesus adalah membebaskan manusia dari kemiskinan dan ketiadaan (Bdk. Luk. 4:8). Artinya Gereja mestinya menyampaikan kabar baik kepada orang yang memiliki tingkat ekonomi yang rendah (miskin) dalam mengupayakan dengan sungguh-sungguh agar memperoleh hak yang sama dalam menikmati sumber-sumber ekonomi yang ada.[32] Sama halnya dengan PNPM yang hadir sebagai penyelamat dan pembebas dari ketiadaan ekonomi dan minimnya pembangunan di kalangan masyarakat Tuwung.
            Tugas gereja adalah untuk menyampaikan kabar baik. namun apa artinya kabar baik apabila hanya merupakan penghiburan yang seringkali di dengar. Menyampaikan kabar baik juga berarti mengupayakan dengan sungguh-sungguh agar orang-orang memperoleh hak yang sama dan menikmati sumber ekonomi sebagaimana mestinya. Dengan demikian menyampaikan kabar baik kepada orang-orang (kekurangan) berarti menciptakan struktur ekonomi yang seimbang dan merata dengan memanfaatkan potensi ekonomi yang ada meskipun sebenarnya hal ini bukanlah tugas utama dari gereja itu sendiri. Gereja harus terlibat dalam tindakan yang memulihkan keutuhan manusia biarpun tidak sepenuhnya. Dalam hal pemulihan ekonomi gereja ikut serta dalam mengatasi dan memberdayakan suatu cara bagaimana hidup yang sejahtera. Prioritas harus diberikan kepada yang lemah dan tak berdaya. Gereja harus dapat mendatangkan syalom yang berarti damai (Bdk. Luk. 19:42).[33]
            Gereja sebagai garam dan terang dunia semestinya bersedia “melarutkan” diri ke dalam dunia (umat manusia) dengan berbagai persoalan yang ada, agar berbagai macam persoalan dunia (umat manusia) yang ada itu bisa diatasi dengan baik, dan selanjutnya dunia (umat manusia) mengalami damai sejahtera yang Allah sediakan. Gereja sebagai terang dunia atau pelita juga menolong umat manusia di dunia dalam mengatasi berbagai persoalan atau hambatan guna mencapai tujuan hidup sejahtera. Jelaslah bahwa gereja dalam konteks masyarakat Tuwung semestinya hadir sebagai garam dan terang dunia, yaitu untuk menjawab keperlbagaian masalah dan menolong masyarakat ke dalam kehidupan yang lebih baik.
Gereja tidak cukup mengarahkan pandangan warganya kepada sorga atau kerajaan Allah atau keselamatan jiwa kelak di dunia di seberang sana (di seberang kematian), melainkan juga menghadirkan tanda-tanda kerajaan Allah dan keselamatan itu pada masa kini, yakni: keadilan,, perdamaian, dan keutuhan ciptaan. Keselamatan bukan hanya keselamatan masa datang, melainkan juga keselamatan masa kini.[34]
                Gereja memiliki hak dan kewajiban untuk terlibat langsung dalam masalah-masalah sosial-ekonomi. Hak dan kewajiban itu adalah tugas yang diserahkan oleh Allah pada gereja. Gereja harus memberikan penilaian-penilaian terhadap masalah sosial-ekonomi, karena mempengaruhi masalah moral.[35]
            Dietrich Bonhoeffer menyatakan bahwa kehadiran gereja dunia harus dirasakan oleh dunia itu sendiri, gereja tidak dapat memisahkan diri dari persoalan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat dengan demikian gereja melaksanakan pelayanan sosial juga atas kasih manusia kepada Allah dan manusia. Sebab jika mengasihi Allah, tentu harus mengasihi manusia, sebab manusia adalah ciptaan Allah.[36]
            Salah satu tugas panggilan gereja adalah melayani (diakonia) yang dalam pelaksanaanya biasanya di sebut pelayanan diakonia. Dalam melaksanakan diakonianya haruslah bersifat kariatif (mendirikan panti asuhan, pendidikan, sumbangan fakir miskin, dsb). Tetapi lebih dari itu semua, gereja juga semakin terpanggil untuk menyuarakan seruan kenabian memperbaiki struktur sosial-ekonomi yang masih terasa pincang.[37] Sama halnya dengan konteks bergereja di jemaat Tuwung, Gereja semestinya bersifat kariatif. Dengan kata lain, gereja harus ikut serta dalam permasalahan yang terjadi di masyarakat atau jemaat. Dengan cara melakukan pelayanan sosial kemanusiaan kepada masyarakat atau jemaat. Pelayan sosial kemanusiaan mencakup Bidang Pendidikan, Kesehatan Ekonomi-Politik, dan Sosial-Budaya.
            Tidak cukup sampai di situ saja, gereja semsetinya juga bersifat transformatif. Artinya gereja tetap melaksanakan pelayanan sosial kemanusiaan kepada umat, namun harus tetap mengacu kepada kerajaan Allah yang bersifat eskatologis. Tujuan diakonia transformative adalah untuk membangun manusia dan dunia baru dalam rangka Kerajaan Allah. Begitu juga halnya gereja dalam konteks masyarakat Tuwung. Gereja semestinya lebih giat melaksanakan pelayanan diakonia kepada jemaat, akan tetapi tidak boleh melupakan dimensi eskatologisnya. Singkatnya, gereja melakukan semangat pelayanan diakonia dan semangat pula dalam hal pemberitaan akan Kerajaan Allah.[38]

BAB V
PENUTUP
            Demikianlah yang dapat penulis paparkan terkait upaya bereklesiologi. Penulis berharap melalui tulisan ini, dapat memberi sumbangan pemikiran dalam upaya bergereja secara kontekstual di bumi Kalimantan. Mengingat bahwa gereja-gereja di Indonesia terkhususnya di bumi Kalimantan seringkali dipandang sebagai hasil dari gereja-gereja barat. Melalui tulisan ini penulis mengerahkan segala kemampuan dalam memahami gereja di bumi Kalimantan ini.
            Gereja sebagai PNPM adalah upaya untuk memahami gereja secara kontekstual di Desa Tuwung. Melalui tulisan ini penulis berharap para mahasiswa/I teologi, khususnya di bumi Kalimantan ini dapat lebih giat dalam upaya kontekstualisasi dan menggambarkan seperti apa semestinya tugas panggilan dan misi gereja terhadap kepelbagaian masalah atau persoalan yang ada. Demikianlah makalah ini penulis paparkan, semoga dapat berguna dan memberi pembelajaran bagi kita semua.
















[1] Mikhail Comans, Manusia Dayak: Dahulu, Sekarang, Masa Depan (Jakarta: Gramedia, 1987) 3.
[2] Kong Yuanzhi, Silang Budaya Tiongkok Indonesia (Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 1999) 3-4.
[3] Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan Di Indonesia (Jakarta: Djambatan, 2004) 119-200.
                [4] Mambatang adalah suatu pekerjaan yang mengambil kayu hutan dengan cara di tebang, kemudian dijual demi mendapatkan uang.
                [5] Manetes adalah suatu pekerjaan yang mengambil Rotan dari hutan.
                [6] Berdasarkan Wawancara dengan Uhing; Tuwung, Kec. Kahayan Tengah, Kab. Pulang Pisau; 28 November 2015. 
                [7] Sila dalam bahasa Indonesia berarti Seberang.
                [8] Secara umum Kaleka Lewu merupakan daerah peninggalan nenek moyang suku Dayak Zaman Dahulu kala yang biasanya ditandai dengan adanya bekas tiang-tiang PNPM atau rumah panggung, pohon-pohon besar dan berumur tua seperti durian, langsat dan sebagainya. Lokasi tersebut umumnya dipelihara dan dilindungi oleh pihak keluarga secara turun temurun sebagai harta warisan yang peruntukkan dan pemanfaatannya untuk kepentinagan bersama masyarakat. Lihat di Skripsi, Eklesia Putra. Kaleka Lewu, Pengungkapan sejarah dan nilainya di masyarakat desa Penda Pilang dan Tumbang Manyangan. Banjarmasin: STT GKE, 2015.
                [9]Trisna Angreini, Kajian Pemberdayaan Perempuan pada Usaha Tani Rotan Di Desa Tuwung Kecamatan Kahayan Tengah Kabupaten Pulang Pisau, Pdf, Palangka Raya: Fakultas Pertanian Universitas Palangka Raya, 2007.
                [10] Ibid.,
                [11]Berdasarkan Wawancara dengan Parit (Kepala desa Tuwung), Tuwung, Kec. Kahayan Tengah, Kab. Pulang Pisau; 28 November 2015.
                [12] Pamantat adalah Orang yang pekerjaannya menyadap karet.
                [13] Berdasarkan Wawancara dengan Mariany, Tuwung, Kec. Kahayan Tengah, Kab. Pulang Pisau; 25 November 2015.
                [14] Berdasarkan Wawancara dengan Uhing; Tuwung, Kec. Kahayan Tengah, Kab. Pulang Pisau; 28 November 2015.
                [15] Berdasarkan Wawancara dengan Beny, Tuwung, Kec. Kahayan Tengah, Kab. Pulang Pisau; 27 November 2015.
                [16] Wilhelm Djulei Conterius, Misiologi Dan Misi Gereja Milenium Baru (Flores, NTT, Indonesia: Penerbit Nusa Indah, 2001) 93.
                [17] Chr. De Jonge, Jan S. Aritonang, Apa dan Bagaimana Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2013) v.
[18] Bdk. G.C. Van Niftrik & B.J. Boland, Dogmatika Masa Kini, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), 359.
[19] Keloso S. Ugak, Materi Kuliah Dogmatika 2 Power Point (Dogmatika2), (Banjarmasin: STT GKE, 2014).
                [20] http://pnpmmpdboyolali.org/web/index.php/about-us/apa-itu-pnpm-mandiri-perdesaan. Di akses pada hari kamis, 26 November 2015, Pukul 23:28 WITA.
                [21] Ibid.,               
                [22] Ibid.,
                [23] Harun Hadiwijono, Iman Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000) 362.
[24] Keloso S. Ugak, Materi Kuliah Dogmatika 2 Power Point (Dogmatika2) , (Banjarmasin: STT GKE, 2014), 12.
                [25] Ibid., 47.                              
                [26] Ibid., 61.
                [27] LAI. Alkitab: ITB 1974, (Jakarta: LAI 2011).
                [28] Ibid.,
                [29] Ibid.,
[30]Gerald O’Collins & Edwards G. Farrugia, Kamus Teologi (Yogyakarta: Kanisius, 1996), 86
                [31] Bdk. Tata Gereja, Gereja Kalimantan Evangelis (MS-GKE, 2010) 2.
                [32] Bdk. Arliyanus Larosa, Misi Sosial Gereja (Bandung: Kalam Hidup, 2001) 17.
                [33] J. Andrew Kirk, Apa Itu Misi: Suatu Penelusuran Teologis (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012) 70.
                [34] Chr. De Jonge, Jan S. Aritonang, Apa dan Bagaimana Gereja, 108.
                [35] Michael J. Schultheis, SVD, Pokok-Pokok Ajaran sosial Gereja, (Yogjakarta: Kanisius 1988) 47.
[36] Ranto G.Simora, Misi Kemanusiaan Dan Globalisasi, Teologi Misi Dalam Konteks Globalisasi di Indonesia, (Bandung: Ink Media 2006), Bagian Pendahuluan xii.
                [37] Ibid.,108
                [38] Bdk. Josef P. Widyatmadja, Yesus dan Wong Cilik: Praksis Diakonia Transformatif dan Teologi Rakyat Di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010) 4-5.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar